Artikel
  • Register

Infeksi Hepatitis C Pada Orang Dengan Masalah Penyalahgunaan Narkoba

HCV menjadi salah satu penyebab utama gagal hati dan kematian yang berkaitan dengan kelainan hati. Semenjak pengobatan anti retroviral (ARV) yang tersedia luas, kematian yang berhubungan dengan infeksi HCV sekarang telah melebihi kematian yang berhubungan dengan HIV.1Injection Drug Use (IDU) atau penyalahgunaan narkoba menggunakan jarum suntik adalah faktor resiko utama infeksi HCV karena HCV adalah virus yang menular melalui darah.

Tidak seperti penderita hepatitis A dan hepatitis B, penderita hepatitis C setelah sembuh dari penyakitnya tidak membentuk sistem kekebalan tubuh spesifik untuk HCV, sehingga mereka dapat terinfeksi kembali di kemudian hari. Selain itu, belum tersedia vaksin untuk HCV, membuat satu-satunya cara untuk mencegah penularan adalah dengan mencegah terpapar oleh darah yang mengandung HCV.2, 3, 4

Orang dengan masalah penyalahgunaan narkoba, terutama yang memakai jarum suntik, beresiko tinggi terinfeksi hepatitis C virus (HCV) melalui penggunaan jarum suntik dan perlengkapan lain yang sering digunakan dalam penyalahgunaan narkoba serta cairan untuk mencampur zat yang terinfeksi secara bersama-sama.1, 2, 4 Hepatitis C sangatlah menular, bahkan para IDU lebih mungkin terinfeksi HCV dibandingkan terinfeksi Human Imunodeficiency Virus (HIV). Penyalah guna narkoba yang tidak menggunakan jarum suntik pun diasosiasi-kan dengan resiko tertular HCV yang tinggi melalui pemakaian peralatan inhalasi bersama-sama untuk menghisap zat seperti kokain atau shabu melalui hidung. Resiko penularan HCV melalui hubungan seksual kecil bila dibandingkan dengan HBV dan HIV.3

HCV akan menghilang dari tubuh pada 15% sampai 25% orang, dengan kata lain pada 75% sampai 85% orang, infeksi HCV akan menetap. Infeksi hepatitis C dapat terjadi secara akut atau pun kronik. Infeksi dikatakan akut apabila infeksi terjadi kurang dari 6 bulan. Infeksi kronik terjadi bila sistem kekebalan tubuh gagal melawan HCV setelah lebih dari 6 bulan. Infeksi HCV kronik seringkali tidak diacuhkan karena jarang menimbulkan keluhan dan perkembangan penyakit terjadi secara perlahan-lahan. Infeksi dapat terjadi selama 20 -30 tahun tanpa menunjukkan gejala sampai pada akhirnya gejala muncul setelah terjadi kerusakan parah pada hati.2

Hepatitis C akut menimbulkan gejala ringan sampai tidak ada gejala sama sekali. Gejala-gejala tersebut antara lain: Mudah lelah, pusing, demam ringan, nafsu makan berkurang, penurunan berat badan, mual dan muntah, nyeri perut, kulit tampak kuning, diare, gatal-gatal pada kulit, air kencing yang berwarna seperti teh, dan feses yang tampak pucat. Gejala dapat menghilang walau infeksi terus berlangsung menjadi hepatitis C kronis.2, 3

Pada hepatitis C kronis timbul jaringan parut pada hati atau yang disebut fibrosis. Fibrosis dapat berlanjut menjadi sirosis dimana jaringan parut tersebar luas di sebagian besar bagian hati sehingga fungsi hati terganggu. Setelah fungsi hati terganggu, gejala-gejala seperti massa otot yang mengecil, pembengkakan di kaki , penumpukan cairan di perut (asites), perdarahan, sampai kesulitan berpikir dan mengambil keputusan akibat encephalopaty. Saat gejala-gejala ini mulai timbul orang yang terinfeksi HCV tersebut beresiko besar mengalami gagal hati maupun kanker hati dengan prognosis yang selalu buruk.2, 3

Sebagian besar orang yang terinfeksi HCV tidak terdiagnosis dan hanya sedikit orang memiliki akses untuk tes HCV. Banyak penyalah guna narkoba yang memulai terapi rehabilitasi mereka belum mengetahui status hepatitis mereka. Pada saat seseorang mulai menampakkan gejala seringkali kerusakan hati yang terjadi sudah parah kadang kala sampai terapi pun dikontraindikasikan. Oleh karena itu, sangat dianjurkan untuk mendeteksi HCV sedini mungkin.1, 3

Tes serologi HCV yang pada umumnya dilakukan bertujuan untuk mendeteksi adakah antibodi spesifik untuk HCV dalam tubuh. Infeksi HCV yang terjadi kurang dari 6 bulan mungkin belum cukup lama untuk tubuh menghasilkan antibodi yang dapat terdeteksi oleh tes antibodi HCV, namun infeksi HCV yang telah terjadi selama 6 bulan hampir selalu menghasilkan hasil tes antibodi HCV positif. Mempertimbangkan adanya periode jendela 6 bulan dimana mungkin antibodi HCV belum terdeteksi, para penyalah guna narkoba atau orang dengan perilaku beresiko tinggi terinfeksi HCV dianjurkan untuk dilakukan tes antibodi HCV ulang setiap tahun.2

Tes antibodi HCV yang “positif” dapat berarti bahwa orang tersebut 1) menderita hepatitis C kronik (75% - 85%), 2) pernah terinfeksi dan telah sembuh (15% - 25%), atau 3) baru saja terinfeksi (infeksi akut). Karena hal tersebut, orang dengan hasil tes antibodi HCV positif dianjurkan untuk melakukan tes lanjutan, yaitu tes RNA (ribonucleic acid) HCV kualitatif. Apabila tes RNA HCV memberikan hasil “positif” selama setidaknya 6 bulan, maka dapat dikatakan orang tersebut terinfeksi hepatitis C kronik.2

Sekarang ini hepatitis C adalah suatu penyakit yang dapat diobati.3 Tidak semua orang yang terinfeksi HCV serta merta memerlukan pengobatan. Pengobatan HCV bekerja baik untuk sebagian besar orang, namun pada beberapa orang, pengobatan tidak memperlihatkan hasil yang diinginkan. Ada kemungkinan bagi sejumlah kecil orang harus menjalani lebih dari 1 kali siklus pengobatan sebelum dapat dikatakan sembuh.5

Pengobatan HCV yang kini tersedia menghasilkan efek samping yang berbeda dari orang ke orang. Beberapa efek samping berkisar antara ringan sampai sedang dan tetap seperti itu sampai akhir masa pengobatan.2 Pada beberapa orang, efek samping yang tampak berat dan terus memburuk sejalan dengan berlanjutnya pengobatan. Biaya pengobatan yang mahal, pengobatan yang berlangsung dalam jangka waktu yang panjang, dan efek samping yang harus dihadapi sepanjang jangka waktu tersebut sering kali terasa berat bagi penderita dan orang-orang disekitar mereka yang memberikan dukungan.3, 5

Keputusan untuk memulai pengobatan hepatitis C kronis didasarkan pada tingkat fibrosis dan keseimbangan antara kemungkinan sembuh dan terjadinya efek samping yang serius dari pengobatan. Orang dengan tingkat fibrosis yang rendah memberi respon yang lebih baik terhadap pengobatan HCV dengan Sustained Virological Rate (SVR) yang lebih tinggi. Di pihak lain, orang dengan tingkat fibrosis yang lebih lanjut dan sirosis yang terkompensasi akan memberi respon yang lebih buruk terhadap pengobatan. 2, 3

Semua orang dengan hepatitis C kronik, baik dewasa maupun anak-anak termasuk didalamnya para penyalah guna narkoba, dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan untuk memutuskan perlu tidaknya memulai pengobatan dan bila perlu kapan pengobatan sebaiknya dimulai. Standar terbaru pengobatan infeksi kronik HCV genotipe 1 terdiri atas terapi dengan pegylated-interferon (1 kali suntik per 1 minggu), ribavirin (1-3 tablet, 2 kali minum per hari), dan telaprevir atau boceprevir (6-12 tablet, 2-3 kali minum per hari). Pengobatan berlangsung dalam jangka waktu yang lama (6-12 bulan), tingkat toleransi obat yang rendah, dan tingkat keberhasilan hanya pada 60% - 70% orang.1, 3

Pada awalnya, pedoman pengobatan infeksi HCV kronik mengeluarkan para penyalah guna narkoba dari kelompok orang yang direkomendasikan untuk menerima pengobatan. Hal ini berdasarkan anggapan bahwa mereka memiliki kepatuhan terhadap pengobatan yang rendah, resiko mengalami efek samping yang tinggi (misal depresi), dan kemungkinan terjadinya re-infeksi yang besar. Penelitan terkini melaporkan pengobatan hepatitis C kronik pada para penyalah guna narkoba sama efektifnya dan aman.1

Kendati prevalensi HCV yang tinggi, respon terhadap pengobatan yang baik, tersedianya pedoman pengobatan yang telah memasukkan para penyalah guna narkoba sebagai populasi target, serta tingginya minat untuk menjalani pengobatan, angka penerima pengobatan hepatitis C kronik tetap rendah sekitar 1% - 2% per tahun, bahkan di tempat dimana pengobatan tersedia dan terjangkau bagi setiap orang. Rendahnya kesadaran dan kurangnya pengetahuan mengenai HCV baik diantara orang yang terinfeksi, tenaga kesehatan, dan pembuat kebijakan, serta diskriminasi dan stigma yang dihadapi menjadi kendala utama bagi para penyalah guna narkoba untuk menerima pengobatan HCV. 1, 3 Penanganan infeksi HCV pada para penyalah guna narkoba memerlukan pelayanan yang terintergrasi. Program harm-reduction seperti penyediaan alat suntik dan jarum steril, terapi subtitusi opioid, intervensi prilaku untuk pengurangan in take alkohol, vaksinasi HBV perlu dipertimbangkan. 3, 4

Sampai sekarang, urgensi pencegahan HIV diantara para penyalah guna narkoba menutupi epidemik hepatitis viral yang sedang terjadi..4 Kurangnya kesadaran tentang bahaya dari HCV diantara pembuat kebijakan dan masyarakat secara umum membuat upaya untuk meningkatkan pencegahan dan akses pengobatan serta usaha untuk menjamin pengobatan HCV yang terjangkau masih sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan upaya-upaya sama yang telah dilakukan untuk infeksi HIV.1

Referensi:

  1. Bruggmann, P., & Grebely, J. (2014). Prevention, treatment and care of hepatitis C virus infection among people who inject drugs. International Journal on Drug Policy, 26, S22-S26.
  2. Substance Abuse and Mental Health Services Administration (SAMHSA). Addressing Viral Hepatitis in People With Substance Use Disorders. Treatment Improvement Protocol (TIP) Series 53. Rockvill, MD: SAMHSA; 2011. (http://store.samhsa.gov/shin/content//SMA11-4656/TIP53.pdf, accessed 29 March 2024).
  3. World Health Organization (WHO). Guidelines For The Screening, Care, and Treatment of Persons With Hepatitis C Infection. Geneva: WHO; 2014. (http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/111747/1/9789241548755_eng.pdf, accessed 29 March 2024).
  4. World Health Organization (WHO). Guidance on prevention of viral hepatitis B and C among people who inject drugs. Geneva: WHO; 2012. (http://www.who.int/iris/bitstream/10665/75357/1/9789241504041_eng.pdf, accessed 29 March 2024).
  5. United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), Regional Office for South Asia. Standart Operating Procedure on Care and Support for Co-morbid Conditions among Injecting Drug Users. New Delhi: UNODC; 2012. (http://www.unodc.org/documents/southasia//publications/sops/care-and-support-for-co-_GoBack_GoBack_GoBack_GoBackmorbid-conditions-among-injecting-drug-users.pdf, accessed 29 March 2024

Kedudukan, Tugas Pokok, dan Fungsi

Tanggal 31 Oktober 1974 diresmikan oleh Ibu Tien Suharto, realisasi Bakolak Inpres No: 6 Tahun 1971 sebagai Pilot Project DKI Jakarta, dengan nama Wisma Pamardi Siwi yang berfungsi sebagai tahanan wanita & anak-anak nakal sebelum diperkarakan / diajukan ke pengadilan.